Membahagiakan
orang tua pastilah keinginan setiap anak. Itulah keinginan Satrio saat ini
yaitu ingin memberikan mahkota yang paling indah untuk sang ibu disurga nanti. Keinginnanya itu
bermula ketika Satrio datang dalam acara seminar dan di tengah-tengah seminar,
sang moderator menyebutkan bahwa jika kita menjadi penghafal al qur’an maka
kita akan memberikan mahkota yang paling indah untuk ibu kita. Sepulang dari
seminar itu, Satrio langsung memeluk bundanya dan mengutarakan niatnya untuk
menjadi penghafal al qur’an dan ingin ke pesantren.Walau saat ini Satrio masih
duduk di bangku kelas 6 SD, tapi keinginan dan niatnya amatlah besar.
“bunda, aku boleh ngak masuk ke pesantren?”
“ loh ko anak bunda tiba-tiba bertanya seperti itu?”
“ gini loh bunda, kemaren waktu Satrio ikut seminar, yang
bawain seminarnya itu bilang kalau kita jadi penghafal al qur’an maka kita bisa
kasih mahkota untuk bunda kita.”
“ memangnya harus di pesantren? Dirumahkan bisa, apalagi
jika kamu menerapkan sistem pesantren di rumah pasti sama ko kaya yang di
pesantren.”
“ tapi beda bunda. Masa kak Ikhsan boleh kepesantren tapi
Satrio ngak boleh?”
“ boleh ko, tapi nanti jika kak Ikhsan sudah datang
kesini dan kamu juga harus minta pendapat abi. Kalau nanti abi ngak ngijinin
sepertinya bunda juga tak mengijinkan.”
“aaaaaaa bunda mah gitu.”
“ minta izin dulu sama abi, keputusannya nanti deh.”
“makasih bunda, (sambil mencium kening bundanya)”
Senyum
riang terpancar dari wajah Satrio dan tak henti-hentinya Satrio menceritakan
kepada teman-temannya bahwa Satrio akan ke pesantren. Respon teman-teman Satrio
berfariasi ada yang ikut senang dan merasa iri karena tak bisa ke pesantren ada
juga yang mencoba menakut-nakuti Satrio dengan mengatakan bahwa di pesantren
itu ngak enak, ngak bisa main dengan leluasa, jarang ketemu orang tua,
peraturannya ketat, disana cuma tadarusan dan dengerin ceramah aja dan banyak
celoteh lainnya. Namun Satrio mengacuhkannya.
“masa bodo, Satrio ke pesantrenkan emang mau jadi tahfidz
(penghafal al qur’an) biar bisa ngasih mahkota paling indah buat ibu Satrio,”
ketus Satrio kesal.
“ngapain juga ke pesantren? Enakan juga di sekolah biasa.
Nanti kan waktu kita SMP atau SMA ada ekskul yang namanya rohis dan kita bisa
memperdalam agama disitu,” balas Tito.
“beda tau to, kata mamas aku, dipesantren itu lebih
intensif apalagi didukung sama suasananya yang islami banget,” jawab Satrio.
“terserah kamu aja deh, yang penting kalau udah jadi
tahfidz beneran, ajarin Tito juga yah buat ngafalin al qu’an? Pinta Tito.
“sip
deh, nanti aku jadi murabbi kamu, hehehe...” jawab Satrio dengan senyum kecil.
“murabbi
itu apa?” tanya Tito dengan kebingungan.
“entahlah,
kak Ikhsan sering bilang gitu sama Satrio, waktu Satrio jenguk kak Ikhsan di
pesantrennya. ‘Kalau Satrio mau belajar agama biar kak Ikhsan yang jadi murabbi
kamu’ gitu kata kak Ikhsan ke Satrio,” jawab satrio dengan polosnya.
Menjadi
seorang Tahfidz, itulah cita-cita Satrio sekarang. Maka ketika mengisi biodata
tentang cita-cita, Satrio selalu mencantumkan ‘Tahfidz Al Qur’an’. Hingga suatu
ketika walikelas Satrio merasa bingung, kenapa cita-cita Satrio sukar di dengar
oleh orang-orang? Biasanya anak –anak selalu menulis cita-citanya adalah
dokter, guru, perawat, pilot dan lain sebagainya tapi kenapa Satrio lain?
Walikelas pun memanggil Satrio berkenaan tentang cita-citanya itu karena
walikelas cukup bingung dan penasaran juga mengapa Satrio ingin menjadi seorang
Tahfidz Al Qur’an.
“Satrio,
kesini nak, ada yang ingin ibu tanyakan kepadamu,” panggil walikelas.
“ada
apa bu? Satrio ngelakuin kesalahan apa bu?” tanya Satrio dengan cemas.
“ibu
mau tanya, kenapa kamu punya cita-cita ingin menjadi seorang Tahfidz al Qur’an?
Kenapa ngak cita-cita yang lain?” tanya walikelas dengan penuh rasa tanya.
“menjadi
seorang Tahfidz itu sebuah kebanggan bu, selain encer di Al Qur’an kita juga
bisa encer di ilmu pengetahuan. Kita juga bisa ngasih mahkota yang paling indah
untuk ibu kita disurga kelak. Mahkota yang manusia itu ngak punya dan mahkota
itu lebih indah daripada mahkota yang dimiliki oleh ratu Inggris sekalipun. Satrio
juga ingin bentengi diri Satrio agar tidak salah dalam pergaulan dan ingin
menjadi umatnya rasulullah yang dekat dengan beliau karena mengahafal Al
Qur’an. Oya bu Satrio keperpustaan dulu yah. Apa ada yang mau ibu tanyain lagi
sama Satrio?”
“tidak
nak, sudah cukup,” jawab wali kelas dengan penuh senyum.
***
“umi... gimana besok jadi nengokin kak Ikhsan ngak?”
tanya Satrio.
“insyaallah jadi tapi abi mu tidak bisa ikut,” jawab umi.
“yah... kok gitu sih mi? Ngak seru dong?” ucap Satrio
dengan nada kecewa.
“sampe segitunya ade, abi ngak bisa ikut karena besok abi
ada pertemuan sama paman kamu di Bogor, jadi besok kamu sama umi aja yah yang
nengok mamas kamu,” uacap abi.
“ahhh... abi mah gitu,” ucap Satrio dengan nada kecewa.
“loh jangan kecewa gitu dong, kan kalau abi ngak ikut
berarti kamu yang jagain ummi gantiin posisi abi. Bukannya itu yang selalu kamu
bilang sama abi?” ucap abi sambil memegang pundak Satrio.
“iya deh..” jawab Satrio dengan lesu.
“jangan lesu gitu dong anak abi, tak sedap dipandang
tahu,” celoteh abi, berusaha menghibur
Satrio.
“(Satrio hanya tersenyum kecil dibarengi dengan senyum
dari abi dan umi)”
Sinar mentari pagi ini membawa kebahagian untuk hati
Satrio karena mentari pagi ini tak terlihat ingin mengeluarkan airmatanya.
Senyum semringah terpancar dari wajah Satrio. Perjalan untuk ke pesantren kak
Ikhsan lumayan juga karena pesantren itu terletak di daerah Bandung tapi masuk
ke desa, sehingga suasananya sangat asri dan hati ataupun pikiran akan
merasakan kenyamanan. Butuh waktu dua setengah jam untuk sampai di desa itu
tapi kita harus menempuh jalan tanah kira-kira tigapuluh menit untuk
benar-benar sampai di pesantren itu. Setibanya di sana, Satrio langsung memeluk
kakaknya.
“assalamualaikum kakak Ikhsan? Adik dan ibumu datang nih?
Tapi ayah tak ikut,” sapa Satrio dengan penuh kegembiraan.
“waalaikumsalam adikku sayang, umi...” Ikhsan pun memberi
salam kepada umi dan membawakan tas yang dibawa oleh umi.
“ko abi ngak ikut mi?” tanya Ikhsan.
“abi mu ada acara sama paman kamu, jadi abimu tak bisa
ikut,”
“iya mas, tadi itu aku loh yang jagain ummi, beneran deh,”
celetuk Satrio.
“wah... adik mamas hebat yah, oya kamu jadi masuk
pesantren? Mau mondok diman? Disini aja biar nanti mamas bisa ngawasin dan
jagain kamu,” ucap kak Ikhsan
“jadi dong... kan mau jadi seorang tahfidz yang tangguh,
males ah kejauhan, pegal nih kaki Satrio mas, hehehe... mukanya biasa dong mas,
jangan nakut-nakutin gitu, Cuma bercanda ko lagian Satrio juga betah disini
malahan kalau sekarang disuruh nginep siap deh lahir batin,” jawab Satrio
“oya mi, si ade ke pesantrennya kapan?” tanya kak Ikhsan
“kalau umi sih maunya pas dia SMP, abisnya ummi liat
tekadnya udah bulat banget, lebih muda diasahnya itu kan lebih baik kaya
mengukir diatas batu tapi keputusan masih tergantung kepada abimu. Abimu tuh,
yang masih berat banget ngelepas Satrio buat mondok,” jawab ummi.
“oh gitu yah, kalau aku sih berharapnya segera jadi ada
temennya, hehehe...” ucap kak Ikhsan
“mamas... itu yang dibawah pohon siapa? Lagi ngapain?”
tanya Satrio.
“itu kak Faisal, dia lagi ngafalin Al Qur’an. Calon
penghafal Al Qur’an tuh udah 29 juzn yang dia hafal sekarang dia sedang
menghafal juz yang ke 30,” jawab Satrio.
“hafalannya mamas udah nyampe mana?” tanya Satrio
“
alhamdulillah sudah juz yang ke 10,” jawab kak Ikhsan
“wah...
mamas hebat yah, Umi... aku mau seperti mamas dan kak Faisal, umi bilangin ke
abi dong kalau Satrio pengen buru-buru dipondokin pengen cepet-cepet jadi seorang
Tahfidz. Satrio juga malu sama anak-anak palestina yang udah jadi Tahfidz
dibawah umur 10 tahun, sedangkan Satrio yang umurnya 10 tahun aja satu juz pun
belum hafal” pinta Satrio.
Seketika
ruangan itu sunyi, ummi dan kak Ikhsan meneteskan airmata atas ucapan Satrio
tadi. Tak disangka anak sekecil itu punya impian yang begitu hebat, impian yang
mungkin diremehkan atau dikebelakangkan oleh oang-orang masa kini.
“Satrio
tau dari mana kalau diusia semuda itu anak- anak Palestina sudah menjadi
seorang Tahfidz?” tanya ummi
“tu...
dimejanya mamas, satrio iri tau mi, pokonya nanti waktu pulang Satrio mau
bilang itu sama abi supaya abi cepet-cepet masukin Satrio ke pesantren,” jawab
Satrio
“sini
Satrio, mamas mau peluk kamu,” kak Ikhsan memeluk Satrio sampil meneteskan air
mata
“yah,
mas waktunya Satrio sama bunda pulang, kita pulang dulu yah mas, oya jangan
lupa salam aku buat kak Faisal, jangan sampe lupa loh, dadah mamas,” pamit
Satrio
“iya
adikku sayang, salammu pasti akan mamas sampaikan, kamu juga harus jagain ummi
yah, jangan buat ummi nangis lagi ok?” ucap kak Ikhsan
“sip
mas, lagian tadi juga aku ngak tau kenapa ummi bisa nangis gitu, ok mas aku
ngak akan buat ummi nangis lagi, tak akan ku biarkan airmata ummi mengalir akan
aku buat ummi selalu tersenyum, tunngu aku ya mas, sebentar lagi aku akan
menyusul mamas untuk menimba ilmu bersama disini. Assalamualaikum mamas,” ucap
Satrio
“waalaikumsalam
adikku sayang dan ummiku tercinta,” balas kak Ikhsan
***
“abiii...
izin satrio mondok dong? Pas Satrio udah lulus sekolah, Satrio malu bi masa
anak-anak Palestina udah pada jadi Tahfidz dibawah umur 10 tahun sedangkan
Satrio satu juz aja belum bi, ya bi... izini Satrio modok, kata ummi lebih
cepat lebih baik dan bukankah dulu abi pernah bilang jika ingin membagun
bangunan yang kokoh itu harus punya pondasi dan jika ingin mencari ilmu carilah
dari kita masih muda dan jangan pernah menyia-nyiakan hari muda untuk
bersenang-senang, abi kan pernah bilang begitu masa Satrio harus nunggu tua
dulu baru ngafalin Al Qur’an?” ucap Satrio
“bukannya
abi melarang, tapi sesuatu itu kan harus direncanakan dengan matang dan jangan
terburu-buru,” jawab abi
“bi?
Tolong izinin dong, Satrio bakal buktiin deh kalau Satrio sungguh-sungguh ingin
mondok kaya mamas Ikhsan” pinta Satrio
“buktiin
dulu dong, buat abi percaya!” tantang abi.
“ok,
ummiii.... umi jadi saksinya yah?” ucap Satrio
Untuk
membuktikan kepada abi, kini Satrio lebih betah di rumah, Satrio berusaha belajar
untuk menghadapi UASBN yang akan datang 100 hari lagi. Usaha itu membuat abi
tersenyum senang karena kali ini Satrio benar-benar punya tekad. Satrio kini
menjadi lebih mandiri, pakaian yang biasanya dicuci dan disetrika oleh ummi
kini Satrio cuci dan setrika sendiri, kamar Satrio pun bersih, tidak seperti
biasa yang diacuhkan kebersihannya oleh Satrio, Satrio pun kini rajin bangun
tengah malam untuk sholat tahajud. Sungguh sebuah tekad yang dimiliki anak
berusia 12 tahun. Akhirnya ketika pengumuman nilai nem, Satrio mendpatkan nilai
nem yang cukum bagus dengan rata-rata sembilan koma.
“abiii...
Satrio dapat peringkat satu di kelas, nilai nem Satrio paling banyak bi,
jadi... abi ngizinin Satrio buat mondok bareng kak Ikhsan kan? Abi udah janji
lho, masa ayah yang baik ingkar janji, kan ngak baik, dosa lho!” ucap Satrio
“iya
abi izinin, kalu mau ke pondok pesantren sekarang hayo abi anterin sekarang
juga,” jawab abi.
“lusa
aja bi kan sekarang mamas katanya mau kesini, jadi nanti Satrio berangkatnya
bareng sama mamas,” ucap Satrio.
Senang
bukan main hati Satrio sekarang, tak henti-hentinya Satrio memeluk ummi, dengan
senyum yang merekah itu ummi pun turut senang, walaupun ummi harus rela
ditinggal jauh oleh kedua putranya tapi rasa sedih itu ummi kubur dalam-dalam.
“ummi,
doakan Satrio yah agar Satrio bisa jadi Tahfidz dan bisa ngasih ummi mahkota
yang paling indah di surga kelak. Ummi jangan sedih karena putra-putra ummi
jauh dari ummi, insyaallah setiap liburan Satrio bakal jenguk ummi. Satrio
butuh doa dan keikhlasan ummi dan abi,” ucap Satrio ketika ingin pergi dan
ummipun langsung memeluk Satrio dengan memberika tasbih kepada Satrio.
Enam tahun telah berlalu dan enam tahun pula Satio
menimba ilmu di pondok pesantren. Kini Satrio beranjak dewasa, penampilannya
sudah berbeda sudah mulai punya jenggot tipis, berpenampilan ala-ala santri dan
Satrio pun sudah hafal 30 juz. Cita-cita Satrio dulu kini menjadi kenyataan,
seorang Tahfidz Al Qur’an yang tangguh dan tentunya tujuan awalnya menjadi
seorang Tahfidz adalah ingin memberikan mahkota paling indah untuk ummi. Enam
tahun dirasa Satrio waktu yang cukup untuk menimba ilmu di pondok dan kini
Satrio ingin kembali kepada ummi dan mengamalkan ilmu yang dia dapat di pondok.
“assalamualaikum
ummi.. abi... Satrio pulang,” ucap Satrio
“waalaikumsalam
nak,” jawab ummi sambil memeluk Satrio
“ummi...
atas doa yang ummi panjatkan setiap malam kini Satrio menjadi Tahfidz Al Qur’an
dan Satrio bisa memberi mahkota yang paling indah buat ummi,”
“(ummi
hanya tersenyum), pasti Satrio capek yah, yasudah sana mandi dulu, kalau belum
sholat ashar sholat dulu, ummi nyiapain makan buat kamu dulu yah,”
“ummi
ngak usah nyiapin makanan buat Satrio tadi Satrio udah makan ko, ummi istirahat
aja, nanti abis mandi satrio ingin sekali cerita sama ummi,” pinta Satrio
Satrio
pun bergegas ke kamarnya dan bersegera untuk membersihkan badannya. Setelah
selesai mandi, Satrio mencari ummi ke setiap ruangan ternyata ummi sedang
berada di ruang keluarga, langsung saja satrio menghampiri ummi,”
“ummi
kok disini? Satrio nyariin ummi loh, oya mi, abi sama kak Ikhsan kemana? Ko
ngak keliatan?” tanya Satrio
“biasa
abimu masih dikantornya, mamasmu lagi liqo sama binaannya,” jawab ummi
“mamas
jadi murabbi sekarang ya mi? Wah satrio juga mau dong mi? Hmm berarti ummi
sering sendirian dong di rumah?” ucap Satrio
“iya,
kini mamasmu jadi seorang murabbi, coba kamu tanyain aja sama mamasmu ada
binaannya yang butuh murabbi lagi atau ngak, ummi ngak sendirian ko kan
sekarang ada Satrio yang nemenin ummi. Oya, Tito selalu menanyakanmu apakah
kamu sudah pulang atau belum, dia masih nanyain apakah kamu ingat akan janji
dan ucapan kamu ke Tito dulu?” tanya ummi.
“oyaaaaa...,
ko Satrio lupaan gini yah, Satrio inget ko, dulu Satrio bilang kalau Satrio
ingin jadi murabbinya kelak,” jawab Satrio
Jika
ada kemauan maka disitu ada jalan. Jika punya impian maka berusahalah untuk
mewujudkan impian itu karena jika impian itu hanya angan-angan tanpa usaha
untuk menggapainya itu akan sia-sia. Satrio adalah contoh dari segelintir anak
negeri yang punya impian,kemauan,tujuan,dan tekad. Dari Satrio kita bisa
belajar untuk jangan pernah menyerah dalam menggapai impian. Gapai terus
impianmu dan genggamlah dunia ini jangan sampai dunia yang menggenggammu.
BERSAMBUNG