Senin, 31 Desember 2012

Mahkota Untuk Ummi


Membahagiakan orang tua pastilah keinginan setiap anak. Itulah keinginan Satrio saat ini yaitu ingin memberikan mahkota yang paling indah untuk  sang ibu disurga nanti. Keinginnanya itu bermula ketika Satrio datang dalam acara seminar dan di tengah-tengah seminar, sang moderator menyebutkan bahwa jika kita menjadi penghafal al qur’an maka kita akan memberikan mahkota yang paling indah untuk ibu kita. Sepulang dari seminar itu, Satrio langsung memeluk bundanya dan mengutarakan niatnya untuk menjadi penghafal al qur’an dan ingin ke pesantren.Walau saat ini Satrio masih duduk di bangku kelas 6 SD, tapi keinginan dan niatnya amatlah besar.
            “bunda, aku boleh ngak masuk ke pesantren?”
            “ loh ko anak bunda tiba-tiba bertanya seperti itu?”
            “ gini loh bunda, kemaren waktu Satrio ikut seminar, yang bawain seminarnya itu bilang kalau kita jadi penghafal al qur’an maka kita bisa kasih mahkota untuk bunda kita.”
            “ memangnya harus di pesantren? Dirumahkan bisa, apalagi jika kamu menerapkan sistem pesantren di rumah pasti sama ko kaya yang di pesantren.”
            “ tapi beda bunda. Masa kak Ikhsan boleh kepesantren tapi Satrio ngak boleh?”
            “ boleh ko, tapi nanti jika kak Ikhsan sudah datang kesini dan kamu juga harus minta pendapat abi. Kalau nanti abi ngak ngijinin sepertinya bunda juga tak mengijinkan.”
            “aaaaaaa bunda mah gitu.”
            “ minta izin dulu sama abi, keputusannya nanti deh.”
            “makasih bunda, (sambil mencium kening bundanya)”
Senyum riang terpancar dari wajah Satrio dan tak henti-hentinya Satrio menceritakan kepada teman-temannya bahwa Satrio akan ke pesantren. Respon teman-teman Satrio berfariasi ada yang ikut senang dan merasa iri karena tak bisa ke pesantren ada juga yang mencoba menakut-nakuti Satrio dengan mengatakan bahwa di pesantren itu ngak enak, ngak bisa main dengan leluasa, jarang ketemu orang tua, peraturannya ketat, disana cuma tadarusan dan dengerin ceramah aja dan banyak celoteh lainnya. Namun Satrio mengacuhkannya.
            “masa bodo, Satrio ke pesantrenkan emang mau jadi tahfidz (penghafal al qur’an) biar bisa ngasih mahkota paling indah buat ibu Satrio,” ketus Satrio kesal.
            “ngapain juga ke pesantren? Enakan juga di sekolah biasa. Nanti kan waktu kita SMP atau SMA ada ekskul yang namanya rohis dan kita bisa memperdalam agama disitu,” balas Tito.
            “beda tau to, kata mamas aku, dipesantren itu lebih intensif apalagi didukung sama suasananya yang islami banget,” jawab Satrio.
            “terserah kamu aja deh, yang penting kalau udah jadi tahfidz beneran, ajarin Tito juga yah buat ngafalin al qu’an? Pinta Tito.
“sip deh, nanti aku jadi murabbi kamu, hehehe...” jawab Satrio dengan senyum kecil.
“murabbi itu apa?” tanya Tito dengan kebingungan.
“entahlah, kak Ikhsan sering bilang gitu sama Satrio, waktu Satrio jenguk kak Ikhsan di pesantrennya. ‘Kalau Satrio mau belajar agama biar kak Ikhsan yang jadi murabbi kamu’ gitu kata kak Ikhsan ke Satrio,” jawab satrio dengan polosnya.
Menjadi seorang Tahfidz, itulah cita-cita Satrio sekarang. Maka ketika mengisi biodata tentang cita-cita, Satrio selalu mencantumkan ‘Tahfidz Al Qur’an’. Hingga suatu ketika walikelas Satrio merasa bingung, kenapa cita-cita Satrio sukar di dengar oleh orang-orang? Biasanya anak –anak selalu menulis cita-citanya adalah dokter, guru, perawat, pilot dan lain sebagainya tapi kenapa Satrio lain? Walikelas pun memanggil Satrio berkenaan tentang cita-citanya itu karena walikelas cukup bingung dan penasaran juga mengapa Satrio ingin menjadi seorang Tahfidz Al Qur’an.
“Satrio, kesini nak, ada yang ingin ibu tanyakan kepadamu,” panggil walikelas.
“ada apa bu? Satrio ngelakuin kesalahan apa bu?” tanya Satrio dengan cemas.
“ibu mau tanya, kenapa kamu punya cita-cita ingin menjadi seorang Tahfidz al Qur’an? Kenapa ngak cita-cita yang lain?” tanya walikelas dengan penuh rasa tanya.
“menjadi seorang Tahfidz itu sebuah kebanggan bu, selain encer di Al Qur’an kita juga bisa encer di ilmu pengetahuan. Kita juga bisa ngasih mahkota yang paling indah untuk ibu kita disurga kelak. Mahkota yang manusia itu ngak punya dan mahkota itu lebih indah daripada mahkota yang dimiliki oleh ratu Inggris sekalipun. Satrio juga ingin bentengi diri Satrio agar tidak salah dalam pergaulan dan ingin menjadi umatnya rasulullah yang dekat dengan beliau karena mengahafal Al Qur’an. Oya bu Satrio keperpustaan dulu yah. Apa ada yang mau ibu tanyain lagi sama Satrio?”
“tidak nak, sudah cukup,” jawab wali kelas dengan penuh senyum.
                                                ***
           
            “umi... gimana besok jadi nengokin kak Ikhsan ngak?” tanya Satrio.
            “insyaallah jadi tapi abi mu tidak bisa ikut,” jawab  umi.
            “yah... kok gitu sih mi? Ngak seru dong?” ucap Satrio dengan nada kecewa.
            “sampe segitunya ade, abi ngak bisa ikut karena besok abi ada pertemuan sama paman kamu di Bogor, jadi besok kamu sama umi aja yah yang nengok mamas kamu,” uacap abi.
            “ahhh... abi mah gitu,” ucap Satrio dengan nada kecewa.
            “loh jangan kecewa gitu dong, kan kalau abi ngak ikut berarti kamu yang jagain ummi gantiin posisi abi. Bukannya itu yang selalu kamu bilang sama abi?” ucap abi sambil memegang pundak Satrio.
            “iya deh..” jawab Satrio dengan lesu.
            “jangan lesu gitu dong anak abi, tak sedap dipandang tahu,” celoteh abi, berusaha menghibur  Satrio.
            “(Satrio hanya tersenyum kecil dibarengi dengan senyum dari abi dan umi)”
            Sinar mentari pagi ini membawa kebahagian untuk hati Satrio karena mentari pagi ini tak terlihat ingin mengeluarkan airmatanya. Senyum semringah terpancar dari wajah Satrio. Perjalan untuk ke pesantren kak Ikhsan lumayan juga karena pesantren itu terletak di daerah Bandung tapi masuk ke desa, sehingga suasananya sangat asri dan hati ataupun pikiran akan merasakan kenyamanan. Butuh waktu dua setengah jam untuk sampai di desa itu tapi kita harus menempuh jalan tanah kira-kira tigapuluh menit untuk benar-benar sampai di pesantren itu. Setibanya di sana, Satrio langsung memeluk kakaknya.
            “assalamualaikum kakak Ikhsan? Adik dan ibumu datang nih? Tapi ayah tak ikut,” sapa Satrio dengan penuh kegembiraan.
            “waalaikumsalam adikku sayang, umi...” Ikhsan pun memberi salam kepada umi dan membawakan tas yang dibawa oleh umi.
            “ko abi ngak ikut mi?” tanya Ikhsan.
            “abi mu ada acara sama paman kamu, jadi abimu tak bisa ikut,”
            “iya mas, tadi itu aku loh yang jagain ummi, beneran deh,” celetuk Satrio.
            “wah... adik mamas hebat yah, oya kamu jadi masuk pesantren? Mau mondok diman? Disini aja biar nanti mamas bisa ngawasin dan jagain kamu,” ucap kak Ikhsan
            “jadi dong... kan mau jadi seorang tahfidz yang tangguh, males ah kejauhan, pegal nih kaki Satrio mas, hehehe... mukanya biasa dong mas, jangan nakut-nakutin gitu, Cuma bercanda ko lagian Satrio juga betah disini malahan kalau sekarang disuruh nginep siap deh lahir batin,” jawab Satrio
            “oya mi, si ade ke pesantrennya kapan?” tanya kak Ikhsan
            “kalau umi sih maunya pas dia SMP, abisnya ummi liat tekadnya udah bulat banget, lebih muda diasahnya itu kan lebih baik kaya mengukir diatas batu tapi keputusan masih tergantung kepada abimu. Abimu tuh, yang masih berat banget ngelepas Satrio buat mondok,” jawab ummi.
            “oh gitu yah, kalau aku sih berharapnya segera jadi ada temennya, hehehe...” ucap kak Ikhsan
            “mamas... itu yang dibawah pohon siapa? Lagi ngapain?” tanya Satrio.
            “itu kak Faisal, dia lagi ngafalin Al Qur’an. Calon penghafal Al Qur’an tuh udah 29 juzn yang dia hafal sekarang dia sedang menghafal juz yang ke 30,” jawab Satrio.
            “hafalannya mamas udah nyampe mana?” tanya Satrio
“ alhamdulillah sudah juz yang ke 10,” jawab kak Ikhsan
“wah... mamas hebat yah, Umi... aku mau seperti mamas dan kak Faisal, umi bilangin ke abi dong kalau Satrio pengen buru-buru dipondokin pengen cepet-cepet jadi seorang Tahfidz. Satrio juga malu sama anak-anak palestina yang udah jadi Tahfidz dibawah umur 10 tahun, sedangkan Satrio yang umurnya 10 tahun aja satu juz pun belum hafal” pinta Satrio.
Seketika ruangan itu sunyi, ummi dan kak Ikhsan meneteskan airmata atas ucapan Satrio tadi. Tak disangka anak sekecil itu punya impian yang begitu hebat, impian yang mungkin diremehkan atau dikebelakangkan oleh oang-orang masa kini.
“Satrio tau dari mana kalau diusia semuda itu anak- anak Palestina sudah menjadi seorang Tahfidz?” tanya ummi
“tu... dimejanya mamas, satrio iri tau mi, pokonya nanti waktu pulang Satrio mau bilang itu sama abi supaya abi cepet-cepet masukin Satrio ke pesantren,” jawab Satrio
“sini Satrio, mamas mau peluk kamu,” kak Ikhsan memeluk Satrio sampil meneteskan air mata
“yah, mas waktunya Satrio sama bunda pulang, kita pulang dulu yah mas, oya jangan lupa salam aku buat kak Faisal, jangan sampe lupa loh, dadah mamas,” pamit Satrio
“iya adikku sayang, salammu pasti akan mamas sampaikan, kamu juga harus jagain ummi yah, jangan buat ummi nangis lagi ok?” ucap kak Ikhsan
“sip mas, lagian tadi juga aku ngak tau kenapa ummi bisa nangis gitu, ok mas aku ngak akan buat ummi nangis lagi, tak akan ku biarkan airmata ummi mengalir akan aku buat ummi selalu tersenyum, tunngu aku ya mas, sebentar lagi aku akan menyusul mamas untuk menimba ilmu bersama disini. Assalamualaikum mamas,” ucap Satrio
“waalaikumsalam adikku sayang dan ummiku tercinta,” balas kak Ikhsan
                                    ***
“abiii... izin satrio mondok dong? Pas Satrio udah lulus sekolah, Satrio malu bi masa anak-anak Palestina udah pada jadi Tahfidz dibawah umur 10 tahun sedangkan Satrio satu juz aja belum bi, ya bi... izini Satrio modok, kata ummi lebih cepat lebih baik dan bukankah dulu abi pernah bilang jika ingin membagun bangunan yang kokoh itu harus punya pondasi dan jika ingin mencari ilmu carilah dari kita masih muda dan jangan pernah menyia-nyiakan hari muda untuk bersenang-senang, abi kan pernah bilang begitu masa Satrio harus nunggu tua dulu baru ngafalin Al Qur’an?” ucap Satrio
“bukannya abi melarang, tapi sesuatu itu kan harus direncanakan dengan matang dan jangan terburu-buru,” jawab abi
“bi? Tolong izinin dong, Satrio bakal buktiin deh kalau Satrio sungguh-sungguh ingin mondok kaya mamas Ikhsan” pinta Satrio
“buktiin dulu dong, buat abi percaya!” tantang abi.
“ok, ummiii.... umi jadi saksinya yah?” ucap Satrio
Untuk membuktikan kepada abi, kini Satrio lebih betah di rumah, Satrio berusaha belajar untuk menghadapi UASBN yang akan datang 100 hari lagi. Usaha itu membuat abi tersenyum senang karena kali ini Satrio benar-benar punya tekad. Satrio kini menjadi lebih mandiri, pakaian yang biasanya dicuci dan disetrika oleh ummi kini Satrio cuci dan setrika sendiri, kamar Satrio pun bersih, tidak seperti biasa yang diacuhkan kebersihannya oleh Satrio, Satrio pun kini rajin bangun tengah malam untuk sholat tahajud. Sungguh sebuah tekad yang dimiliki anak berusia 12 tahun. Akhirnya ketika pengumuman nilai nem, Satrio mendpatkan nilai nem yang cukum bagus dengan rata-rata sembilan koma.
“abiii... Satrio dapat peringkat satu di kelas, nilai nem Satrio paling banyak bi, jadi... abi ngizinin Satrio buat mondok bareng kak Ikhsan kan? Abi udah janji lho, masa ayah yang baik ingkar janji, kan ngak baik, dosa lho!” ucap Satrio
“iya abi izinin, kalu mau ke pondok pesantren sekarang hayo abi anterin sekarang juga,” jawab abi.
“lusa aja bi kan sekarang mamas katanya mau kesini, jadi nanti Satrio berangkatnya bareng sama mamas,” ucap Satrio.
Senang bukan main hati Satrio sekarang, tak henti-hentinya Satrio memeluk ummi, dengan senyum yang merekah itu ummi pun turut senang, walaupun ummi harus rela ditinggal jauh oleh kedua putranya tapi rasa sedih itu ummi kubur dalam-dalam.
“ummi, doakan Satrio yah agar Satrio bisa jadi Tahfidz dan bisa ngasih ummi mahkota yang paling indah di surga kelak. Ummi jangan sedih karena putra-putra ummi jauh dari ummi, insyaallah setiap liburan Satrio bakal jenguk ummi. Satrio butuh doa dan keikhlasan ummi dan abi,” ucap Satrio ketika ingin pergi dan ummipun langsung memeluk Satrio dengan memberika tasbih kepada Satrio.
Enam  tahun telah berlalu dan enam tahun pula Satio menimba ilmu di pondok pesantren. Kini Satrio beranjak dewasa, penampilannya sudah berbeda sudah mulai punya jenggot tipis, berpenampilan ala-ala santri dan Satrio pun sudah hafal 30 juz. Cita-cita Satrio dulu kini menjadi kenyataan, seorang Tahfidz Al Qur’an yang tangguh dan tentunya tujuan awalnya menjadi seorang Tahfidz adalah ingin memberikan mahkota paling indah untuk ummi. Enam tahun dirasa Satrio waktu yang cukup untuk menimba ilmu di pondok dan kini Satrio ingin kembali kepada ummi dan mengamalkan ilmu yang dia dapat di pondok.
“assalamualaikum ummi.. abi... Satrio pulang,” ucap Satrio
“waalaikumsalam nak,” jawab ummi sambil memeluk Satrio
“ummi... atas doa yang ummi panjatkan setiap malam kini Satrio menjadi Tahfidz Al Qur’an dan Satrio bisa memberi mahkota yang paling indah buat ummi,”
“(ummi hanya tersenyum), pasti Satrio capek yah, yasudah sana mandi dulu, kalau belum sholat ashar sholat dulu, ummi nyiapain makan buat kamu dulu yah,”
“ummi ngak usah nyiapin makanan buat Satrio tadi Satrio udah makan ko, ummi istirahat aja, nanti abis mandi satrio ingin sekali cerita sama ummi,” pinta Satrio
Satrio pun bergegas ke kamarnya dan bersegera untuk membersihkan badannya. Setelah selesai mandi, Satrio mencari ummi ke setiap ruangan ternyata ummi sedang berada di ruang keluarga, langsung saja satrio menghampiri ummi,”
“ummi kok disini? Satrio nyariin ummi loh, oya mi, abi sama kak Ikhsan kemana? Ko ngak keliatan?” tanya Satrio
“biasa abimu masih dikantornya, mamasmu lagi liqo sama binaannya,” jawab ummi
“mamas jadi murabbi sekarang ya mi? Wah satrio juga mau dong mi? Hmm berarti ummi sering sendirian dong di rumah?” ucap Satrio
“iya, kini mamasmu jadi seorang murabbi, coba kamu tanyain aja sama mamasmu ada binaannya yang butuh murabbi lagi atau ngak, ummi ngak sendirian ko kan sekarang ada Satrio yang nemenin ummi. Oya, Tito selalu menanyakanmu apakah kamu sudah pulang atau belum, dia masih nanyain apakah kamu ingat akan janji dan ucapan kamu ke Tito dulu?” tanya ummi.
“oyaaaaa..., ko Satrio lupaan gini yah, Satrio inget ko, dulu Satrio bilang kalau Satrio ingin jadi murabbinya kelak,” jawab Satrio
Jika ada kemauan maka disitu ada jalan. Jika punya impian maka berusahalah untuk mewujudkan impian itu karena jika impian itu hanya angan-angan tanpa usaha untuk menggapainya itu akan sia-sia. Satrio adalah contoh dari segelintir anak negeri yang punya impian,kemauan,tujuan,dan tekad. Dari Satrio kita bisa belajar untuk jangan pernah menyerah dalam menggapai impian. Gapai terus impianmu dan genggamlah dunia ini jangan sampai dunia yang menggenggammu.
BERSAMBUNG