n bahasa yang dibuat sehalus mungkin. Aku mengintip takut-takut dari
lubang kunci, raut wajah Ibu yang tiba-tiba menegang, lalu air matanya
tumpah bak banjir bandang.
Bapak dipecat, karena
menyelewengkan dana kantor dan terbukti melakukan tindakan asusila
dengan rekan wanitanya di kantor. Bahkan, wanita itu telah diberinya
rumah di Kecamatan Pare, tiga puluh kilometer dari rumah kami.
Bapak dipenjara atas tuduhan korupsi dan berselingkuh dengan istri
orang. Aku tahu, bukan sekali ini saja Bapak mengkhianati Ibu. Sebagai
anak tertua aku sudah bisa membaca hubungan kedua orang tuaku. Namun
baru kali ini aku melihat Ibu begitu terpukul. Tentu, dengan dipecatnya
Bapak, berarti asap tak akan mengepul lagi di tungku keluarga kami.
Sementara lima orang anak perempuan setiap hari membutuhkan jatah nasi
yang tidak sedikit. Melihat Ibu bermuram durja, semangat belajarku
hilang seketika.
Mei 1984 ..
Ujian Akhir, 03.00 Pagi ...
Suara lantunan ayat-ayat suci membangunkanku dari lelap. Ibu! Begitu
biasanya beliau membangunkan kami untuk shalat lail. Segera kutepuk
Tini untuk menyusul Ibu. Mata adikku masih memerah menahan kantuk. Tapi
kusemangati dia, “Ayo, katanya ingin berdoa, Tini ingin minta apa?”
Malam begini dingin menyambut kami di kamar mandi. Air terasa seperti
butiran es. Kuusap mataku dan mata Tini sambil tersenyum, sekejap
kemudian kesegaran mengaliri seluruh tubuh. Lenyap sudah kantuk yang
memberati mata.
Ibu menyambut kami dengan senyum, tapi….
Matanya begitu sembab, pasti Ibu habis menangis. “Mana adik-adikmu yang
lain, Nduk?” kami saling berpandangan, lalu menggeleng dan tersenyum
malu. Habis, sulit sekali membangunkan Lastri dan Tinah, bisa ditendang
aku nanti, maklum, mereka masih kecil.
Usai tahajud, aku terus
mengambil buku dan belajar. Ibu menemani sambil meneruskan tadarus
Qur’an-nya. Ibu…. Bagaimana orang sealim Ibu bisa mendapatkan orang
seperti Bapak. Ah, ngelantur aku ini, kalau tidak ada Bapak, berarti
aku juga tidak ada.
Akhir Mei 1984 ...
Akhirnya,
selesai sudah ujian akhirku. Alhamdulillah leganya. Setidaknya aku
mulai bisa memikirkan yang lain untuk membantu mengurangi beban Ibu.
Yah, mau bagaimana lagi, Ibu memutuskan menjual sebagian tanah
warisannya untuk menebus Bapak dari penjara. “Bagaimana pun dia
bapakmu, Wuk, sejahat dan sebejat apa pun kelakuannya, darahnya lah
yang mengalir di tubuhmu.”
Aku juga tak tahu musti harus
bagaimana. Rasanya kaget tiba-tiba ikut terlibat dalam permasalahan
rumit ini. Tapi Ibu butuh teman bicara. Dan aku, anak sulungnyalah yang
bisa melakukan itu. Ya, mesti cuman sebatas mendengarkan. Menanti Bapak
pulang seperti menunggu datangnya makhluk asing dari planet lain. Ada
rindu, ada benci, ada juga rasa asing yang tak bisa kumengerti.
Entahlah, dari dulu kami memang tak bisa dekat. Bapak menginginkan anak
laki-laki, sementara kelima anaknya perempuan. Barangkali itulah yang
membuat sulit sekali diajak bermanja.
Suatu sore, saat
matahari senja merah saga memenuhi langit, Bapak benar-benar pulang.
Sosoknya yang tinggi besar memenuhi pintu rumah. Dan Ibu menyambutnya
seperti biasa, dengan mencium tangan Bapak, dan menyuruh kami melakukan
hal yang sama. Tanpa beban, seolah tak terjadi apa pun yang pernah
mengguncang keluarga kami. Kucari dendam di mata Ibu, tapi ya Rabbi,
mata itu begitu ikhlas dan tabah. Sementara hatiku sudah mulai
tertorehi luka.
Agustus 1984 ..
Perekonomian keluarga
kami benar-benar terpuruk. Aku tak bisa melanjutkan sekolah. Jangankan
untuk mendaftar SMA, untuk makan sehari-hari pun mulai kesulitan. Bapak
berpamitan untuk mencari kerja di Bogor. Memang di kota kecil seperti
Kediri, mencari pekerjaan baru bukanlah hal mudah, apalagi untuk orang
yang namanya sudah cacat seperti Bapak.
Ibu mengambil alih
perekonomian dengan membuka warung pecel di depan rumah. Pagi buta
sampai siang, Ibu mengurus warung pecelnya. Sore hingga malam membuat
krecek, makanan ringan dari irisan singkong kering yang digoreng dan
dibumbuhi gula merah serta cabai. Aku membantu Ibu sekuatnya. Aku punya
kewajiban moral untuk membantunya, kalau bukan aku, siapa lagi?
Bangun pukul empat pagi, kini tak terasa dingin lagi. Sepagi itu aku
dan Ibu mulai ke pasar. Tiba di rumah, kami berbagi tugas. Aku mencuci
baju, Tini membersihkan rumah. Setelah beres, kami membantu Ibu
menyiangi sayuran. Ketika adik-adikku berangkat sekolah aku mulai
menyiapkan potongan-potongan singkong untuk digoreng. Bila malam tiba,
sambil mengajari mereka, aku dan Ibu membungkus krecek ke dalam plastik
agar esok pagi bisa kuedarkan ke warung-warung dan pasar Kandat.
Ya Allah, Pengatur nasib umat, aku sangat bangga pada Ibu. Di tengah
himpitan ini beliau masih terus berkhusnudzan kepada-Mu, terus
mengajari kami bersabar, dan terus membimbing kami dengan cintanya. Ya
Allah, berikanlah segala kebaikan-Mu untuk Ibu dan kami sekeluarga. Dan
berilah kesadaran untuk Bapak, ya Allah, bahwa kami adalah putri-putri
yang juga mengharap cintanya. Amin.
Agustus 1986 ..
Bapak datang. Datang! Setelah sekian lama tanpa kabar dan kiriman apa
pun. Datang dengan sederet tuntutan dan pelecehan pada Ibu. Tuntutan
atas kehadiran anak laki-laki yang tak mampu dilahirkan Ibu.
Dan satu pelecehan lagi yang membuat darahku berpacu ke ubun-ubun,
beliau mengaku sudah menikah di Bogor dan mempunyai seorang anak
laki-laki. Tuntutan untuk menjual sisa tanah, dengan alasan anak
laki-laki lebih berhak memperoleh daripada kami. Semua dikatakan Bapak
saat kami kesulitan untuk sekedar mengisi perut.
Entah
keberanian apa yang membuatku lancang kepada Bapak. Kupukul dan kucakar
lelaki yang kusebut bapak itu sehingga sebuah tamparan keras mendarat
di pipiku. Ibu yang tersimpuh di atas tubuhku dengan isak pelan, dan
umpatan kasar Bapak, “Perempuan sialan, perempuan pincang! Seperti ini
kau didik anakmu? Huh, dari dulu aku memang malu punya istri seperti
kamu, dasar pincang!”
Kali ini giliran Ibu yang mendapat
tamparan Bapak. Sakit…. Sakit hatiku mendengar Ibu diumpat seperti itu.
Kaki Ibu memang tidak normal, terserang polio sedari kecil. Tapi bukan
berarti ia tidak sempurna mendidik kami. Sungguh ia satu-satunya wanita
yang membetot habis rasa cinta dan hormatku lebih dari apa pun. Satu
lagi luka tertoreh.
Kupandang Bapak dengan mata menyala.
Biar….. biarlah Bu, Bapak mengambil tanah itu. Kita buktikan bahwa kita
bisa hidup tanpa bantuannya bila itu yang Bapak mau. Aku berjanji, aku
bertekad, akan kulakukan apa pun untuk Ibu dan adik-adikku.
Januari 1990 ..
Rumah Makan Padang “Siang Malam”, Gringsing, Kendal ...
Aku membawa truk bermuatan kelapa memasuki pelataran rumah makan. Sisa
setengah perjalanan lagi menuju Jakarta. Ahmad dan Pak Gono membuka
mata. Dengan sopan aku menyilahkan mereka untuk beristirahat. Sementara
aku harus berburu waktu mencari musholla, shalat Isya’.
Celana
hitam, jaket gombrang coklat, dan jilbab kaos hitam telah menyulapku
menjadi sosok yang cukup dikenal di rumah makan ini. Pemiliknya Pak
Haji Yassin juga kenal denganku. Karena itu aku memilih tempat ini
sebagai tempat istrirahat bila nyopir ke arah barat.
Selain
lingkungannya apik, baik, juga ada musholla yang nyaman tempat aku
istirahat sejenak. Sesekali bahkan Bu Haji menyuruhku istirahat di
ruang belakang mereka. Sementara aku istirahat, Ahmad biasa mencuci
kaca depan truk, mengisi air radiator, mengecek mesin, dan ban, serta
tak lupa menyiapkan sebotol kecil kopi hangat di samping jok untuk
persiapan nanti.
Truk ini milik Pak Jono, teman Bapak. Aku
yang dipercaya mengelolanya dengan sistem sewa. Dulu, hampir tiap hari
aku keluar masuk desa untuk menawarkan jasa transportasi ini. Kini
tinggal memetik hasilnya. Para petani dan pedaganglah yang datang
apabila membutuhkan truk sekaligus sopirnya.
Aku tak pernah
bercita-cita menjadi seorang sopir. Tidak, tidak karena itu dunia
laki-laki yang keras dan penuh bahaya. Tapi aku tak punya pilihan lain.
Hanya pekerjaan ini yang bisa menghasilkan uang paling banyak. Sekali
nyopir aku bisa mengantongi uang lima puluh ribu sampai seratus ribu.
Bahkan bila musim panen, aku bisa memegang hingga satu juta rupiah
sebulan. Alhamdulillah. Karena selain menyopir, aku juga memasok
beberapa komoditi pasar seperti kelapa, pisang, semangka ke beberapa
kota sekeliling Kediri. Tentu, dengan bagi hasil dengan Pak Jono.
Ibu terus berjualan pecel dan membuat krecek. Kini hanya dibantu
Sundari karena Sutini dan Sulastri sudah kuliah di Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya. Sedang Partinah memilih ke Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Bahagia rasanya melihat mereka terus sekolah,
lebih bahagia karena mereka tak pernah mengecewakan lelehan keringatku.
Mereka belajar keras, bahkan sangat keras untuk membahagiakan Ibu dan
kakaknya yang sopir truk ini.
Sekali waktu, Tini pernah marah
padaku, ia minta diijinkan bekerja untuk ikut membantu ekonomi
keluarga. Tapi adikku itu mengkeret begitu melihatku memandang tajam ke
arahnya.
Adikku…. Maafkan Mbak Tiwuk. Biar Mbak Tiwuk saja
yang berkorban, satu saja! Kalian semua jadilah manusia yang berhasil.
Dengan lulus UMPTN, dengan kuliah yang benar, dengan cepat lulus, itu
sudah cukup membantu Mbak Tiwuk. Sudah membuat Mbak bahagia. Jangan
pikirkan yang lain. Doa Mbak untuk kalian semua.
Juli 1993 ..
Rumah Makan “Ayem Tentrem”, Pelabuhan Ketapang...
Sudah larut malam ketika aku beristirahat, menunggu kapal yang akan
berangkat ke Pulau Bali. Ini rute pertamaku. Agak gamang juga. Tapi
Ahmad, kenekku meyakinkan bahwa ia pernah ke Denpasar sebelumnya, jadi
aku tak perlu khawatir tersesat.
Deretan truk terparkir dalam
keremangan pelabuhan. Aku turun, mencari musholla dan tempat nyaman
untuk menyantap rantang makanan bekal dari Ibu.
Menjelang
pukul dua, kudengar keributan di sekitar trukku. Ahmad
berteriak-teriak, aku tertegun. Segerombolan preman tengah merubungnya.
Tukang palak rupanya. Sementara Pak Sabar, pemilik kayu gelondongan
yang kuangkut tergigil pucat pasi di sisi truk.
Pemalakan
tidak tanggung-tanggung karena kami orang baru, diharuskan membayar
biaya keamanan sebesar seratus ribu. Sejenak mereka melongo begitu tahu
sopirnya wanita. Tapi tak pernah kugunakan sebutan itu untuk bersikap
lemah, terlebih ini menyangkut hak untuk mencari penghidupan halal,
hakasasi setiap umat untuk meneruskan hidupnya.
Setelah
gertakan untuk melapor polisi tak ditanggapi, terpaksa kuladeni
tantangannya. Ahmad satu tingkat di bawahku di perguruan Perisai Diri.
Jadi aku bisa mengandalkannya. Seratus ribu bukan jumlah yang sedikit.
Apalagi Sulastri membutuhkan biaya untuk praktikumnya.
Perkelahian berjalan tak seimbang, dua lawan tujuh. Kami bertarung
sengit, tiga orang berhasil kami buat jatuh, seorang yang bertindak
sebagai pemimpinnya berbuat nekad, saat tendangan kaki kiriku ku
arahkan ke si brewok, ia menohok dari samping.
Cras… kaki
berbalut sepatu kets-ku berlumuran darah. Perih, darah keluar dengan
deras. Aku masih bisa menangkis dua, tiga serangan, setelah itu gelap.
Saat sadar aku telah berada dalam salah satu bangsal di RSU Banyuwangi.
Menurut dokter, setelah sembuh nanti kemungkinan aku akan mengalami
sedikit pincang. Sejumlah memar juga menghiasi leher dan punggung.
Rupanya saat aku sudah jatuh mereka masih menendangiku.
Untunglah Pak Sabar datang tepat pada waktunya dengan dua orang polisi
pelabuhan. Aku bersyukur karena Ahmad dan Pak Sabar tak terluka. Ah,
peristiwa pahit. Tapi tak akan melemahkan semangatku untuk terus
mencari nafkah, karena lima bulan lagi Sundari lulus SMA.
Februari 1995 ..
Kutuntun Ibu ke dalam ruangan penuh spanduk dan karangan bunga.
Subhanallah, matahari pagi dipucuk-pucuk pinisium ikut tersenyum
memandang kami. Hari ini Sutini disumpah menjadi seorang dokter. Map
hitam berlogo almamater diserahkan kepada Ibu dan aku sambil menahan
tangis. “Ini….Untuk Ibu dan Mbak Tiwuk. “Kupeluk adikku, kuusap
keningnya.
“Seandainya setiap kakak di dunia ini seperti Mbak
Tiwuk…..,” ujarnya dengan mata basah. “Seandainya semua adik di dunia
seperti kalian, tidak akan ragu seorang kakak melakukan apa pun,” kami
berpelukan, kurengkuh bahu adikku, Tini yang bulan depan akan
mengakhiri masa lajangnya, disunting oleh teman seangkatan, pemuda
soleh yang bulan kemarin bersama keluarganya mengkhitbah Tini di rumah
kecil kami. Jemputlah masa depanmu Adikku….Mbak Tiwuk ikhlas kau
langkahi.
Mei 1997 ..
Rumah Makan “Baranangsiang” , Bogor ...
Menyebut kota ini menimbulkan luka lagi yang menganga, Bapak….. pelan
ku eja namanya. Nama laki-laki yang seharusnya menanggung beban di atas
pundakku. Pernikahan Tini kemarin beliau hadir, juga saat Tinah
diakadkan. Semanis apa pun wajah kupasangkan, tak bisa membangun
jembatan kemesraan anak beranak di antara kami. Hati ini terlanjur
sakit.
Pada saat kupandang wajah Ibu, masih dengan tulus yang
sama menyambut kepulangan Bapak. Alangkah luas telaga maafmu, Ibu.
Sementara hanya setitik hormat yang masih ku punya. Menurut berita yang
kudengar, usaha Bapak di Bogor maju pesat, dengan seorang istri dan dua
anak laki-laki yang diidamkannya.
Syukurlah jika Bapak
bahagia. Semoga waktu akan mengurai kebekuan hati ini hingga terbentuk
maaf yang tulus untuknya. Karena aku tak mau selamanya jadi anak
durhaka. Bukankah Allah telah begitu adil dengan apa yang telah kami
terima selama ini? Sungguh aku bersyukur…
Mei 2000 ...
Rumah berdinding setengah bata setengah bambu kami terasa bertambah
tua, atap dapur bahkan nyaris doyong. Seperti juga kerut pada Ibu, juga
wajahnya yang makin mengental. Jika ada kesempatan untuk bernafas,
inilah saatnya. Keempat adikku sudah mentas semua. Tinggal Sundari, itu
pun sudah hampir mandiri, karena selain menyelesaikan S2, ia juga
mengajar di sebuah yayasan.
Kini perhatianku beralih ke Ibu.
Ibu yang membesarkan kami dengan kedua tangannya!, dengan kakinya yang
terseok, yang selalu membentengi kami melalui doa yang rutin
dipanjatkan di setiap malam, melalui puasa Senin-Kamis, dengan
keprihatinannya, juga dengan sabar dan cintanya.
“Wuk, bisa
nggak ya niat Ibu kesampaian. Ibu ingin sekali melihat Baitullah.” Satu
kata itulah yang menjadi perhatianku kini. Maka, ketika Tini, Tinah,
dan Lastri menawarkan diri untuk merenovasi rumah, kalimat itu kuulang
pada ketiga adikku. Dengan sisa tabungan dan sumbangan mereka, aku
berharap bisa memenuhi permintaan Ibu.
Juli 2000 ...
“Dunia begitu indah karena kami memiliki kakak seperti engkau.
Terimakasih, Mbak….” Kueja kalimat itu berulang. Sebuah cincin bermata
berlian menyertai kertas itu. Ah, aku lupa, hari ini aku berulang
tahun. Aku memang selalu lupa dan tak pernah memikirkannya.
Setitik air membasahi pipi, sudah berapa lama aku tidak menangis?
Kucium kertas itu. Adik-adikku, dunia pun sangat indah karena aku
memiliki kalian, juga Ibu. Terima kasih ya Alah.
Februari 2001 ..
Garuda Indonesia, Boeing 737, Jamaah Haji Kloter 12 ...
Pada Allah semua tujuan hidup bermuara. Tak pernah kubenci dan kusesali
hidupku. Karena aku telah memandang semuanya dengan syukur dan
karenanya sepahit apa pun kenyataan akan tetap terasa indah. Inna ma’al
‘usri yusro, sesungguhnya dibalik kesulitan itu ada kemudahan. Allah
akan memberi kemudahan itu pada setiap hambanya yang sabar.
Sering aku tak percaya bisa melakukan semua ini, karena tugas itu
nyaris usai. Allah Yang Maha Pemurah, telah memberiku kesempatan hidup
lebih panjang dari yang divonis dokter. Gadis dengan cacat jantung
bawaan seperti aku……rasanya tak percaya.
Allah, jika Engkau
ijinkan, berilah hamba waktu lagi minimal untuk bisa berjumpa dengan
Bapak, agar kebekuan ini mencair. Untuk sebuah kata maaf yang belum
pernah bisa kukeluarkan, karena aku, Tiwuk Hartati, pernah mempunyai
doa yang sangat jelek untuknya. Biarlah maaf itu tumbuh seperti sejuta
telaga kasih milik Ibu.
Awan putih menyembul di balik kaca,
berarak meniupkan simponi syahdu. Seolah aku sedang duduk di antaranya,
membaca tanpa gerak bibir, bahasa yang santun dan dewasa, mengantarku
dalam kedalaman rasa tiada tara. Ibu memejamkan mata di seat sebelah,
tenang dan damai. Oh Ibu, akhirnya penantianmu usai sudah. Lihatlah Bu,
lihat awan itu. Ia akan mengantar kita ke suatu tempat yang paling Ibu
dambakan.
Kuusap lembut jemari kisut dan kasar itu. Ibu….
Lelah guratan hidupmu, membayang pada raut wajah itu, tapi tak bisa
mengurangi keagungan cinta milikmu. Kukecup lembut dan kubawa tangan
itu ke atas dada. Di bandara tadi, harta-hartamu mengantar kepergian
kita dengan haru: Dokter Sutini, Dokter Sulastri, Insinyur Partinah,
dan calon guru kita Sundari, juga suami-suami mereka dan keponakanku
yang lucu-lucu: Hanif, Asfa, dan Abdus.
Tawamu jernih dan
tulus ketika mencium mereka satu per satu, mutiara hidupmu. Wajah
damaimu Ibu, adalah bentuk kepasrahan seorang hamba dalam menjalani
garis hidup Sang Pencipta, tanpa keluh dan putus asa.
Kepasrahan dalam ketegaran yang senantiasa yakin akan pertolongan
Khaliknya. Kurasakan burung besi ini semakin meninggi, memecah udara,
diiringi senyum hangat pramugari-pramugari anggun berbaju muslimah yang
menawarkan makanan. Kuambilkan satu untukmu, Ibu….
Garuda pun
membelah angkasa menuju Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Semakin jauh
meninggalkan Jakarta, meninggalkan Kediri. Dan satu harapan lagi,
dengan izin-Mu akan terwujudkan. Allah Maha Besar ...
~ o ~
Salam santun dan keep istiqomah ...
--- Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini
... Itu hanyalah dari kami ... dan kepada Allah SWT., kami mohon
ampunan ... ----
Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ...
Silahkan DICOPAS atau DI SHARE jika menurut sahabat note ini bermanfaat ....
#BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI#
------------------------------------------------
.... Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahumma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa'atuubu Ilaik ....
====Sumber :
http://lenteraara.wordpress.com/2007/05/23/pada-allah-semua-tujuan-hidup-bermuara/