DILEMA KEPEMIMPINAN
Irama kelakson
beriringan seiring dengan kemacepat dan kepenatan ibukota. Pemandangan yang
kacau untuk dilihat. Suatu dilema yang harus dibenahi. Kebisingan dan ke
semrawudan kota mungkin bisa menggambarkan ekspresi wajah Dina yang dari tadi
tak tersenyum bahkan mentari pagi yang datang dengan hangatnya tak disapanya
dengan senyuman. Dari mentari nemanpakan wajahnya hingga berada pas di atas
kepala, wajah Dina masih saja muram.
Dilemparkannya
tas yang menenpel di pundaknya di ats kasur, ditariknya bangku dan diambilnya album foto. Album foto yang
penuh kenangan indah bersama sahabat-sahabatnya. Dina sedikit menggela nafas
ketika satu per satu lembaran album itu dibuka, air mulai memenuhi kelopak
matanya, air itu akan tumpah. Ditutupnya album itu dan dilemparkan tubuhnya di
tempat tidurnya. Dipejamkan matanya dan diingatnya semua hal yang dahulu pernah
terlewatkan.
Mengapa semua begini? Dimana kawan-kawanku
yang dulu? Dimana mereka? Mengapa mereka selalu menyalahi aku? Jika begini
akhirnya, mungkin dulu aku mengundurkan diri saja menjadi ketua Rohis dan
enggan untuk menerima amanah ini. Untuk apa aku menjadi ketua tapi ucapanku
selalu dibantah, persahabatanku renggang, selalu disalahi, ketika aku tak bisa
hadir maka aku dicemooh, di cap ketua yang tak bertanggung jawab, tak punya
rasa peka terhadap Rohis. Aku lelah ya Allah jika saban hari selalu itu yang
aku terima. Aku lelah ya Allah. Aku tak kuat mengemban amnah ini, sungguh aku
tak sanggup. Lagi-lagi aku bertengkar dengan sahabatku karena aku yang tak bisa
hadir ketika kegiatan rohis.
Tak terasa air mata telah membanjiri wajah Dina.
Lamunannya buyar ketika ada suara yang memanggilnya. Suara kak Ana, terdengar
dari balik pintu kamar Dina. Kak Ana mengeuk pintu kamar Dina, dibukanya pintu
itu dan langsung dipeluk sang kakak. Spontan saja kak ana kaget, ditambah lagi
ketika melihat wajah Dina yang sudah dibanjiri air mata. Diajak nya Dina duduk
dan menyusap air mata sang adik. Kak Ana pun berusaha untuk menanyakan mengapa
Dina berlinangan air mata dan pulang cepat, padahal biasanya hari itu Dina liko
dahulu. Dengan nada terisak, dina
menceritakan kejadian tadi ketika sedang Liko, ternyata tadi ada sedikit adu
mulut antara Dina dan teman-teman Liko nya. Ketika akan Liko, seorang teman
menanyakan keseriusan dan kebecukan Dina dalam menjadi ketua, itulah awal mula
adu argumen itu terjadi. Ketika adu argumen itu, tak ada yang membela Dina,
semuanya memojokan Dina. Lagi lagi airmata dina berlinang.
“kenapa merka
ngak ngebela Dina kak? Kenapa semuanya mojokin Dina?” tanya dinya denga
linangan air mata.
“semua itu
mungkin ada sebabnya, mungkin saja Dina kurang perhatian sama amanah yang Dina
emban sekarang?”
“dima amanah
ko? dan Dina juga...”
“juga apa?”
“iya sih kak,
Dina rasa juga akhir-akhir ini setelah mengemban amah ini, dina jadi kurang
perhatian gitu, jarang dateng juga tapikan itu karena ada kerja kelompok kak?
Kalau Dina ngak kerja kelompok, nilai Dina gimana?”
“aduhhh Dina,
memangnya kerja kelompok itu jatuh
temponya ketika jadwal rohis terus? Kan ngak setiap jadwal rohis juga kan?”
“iya sih ka,
tapikan Dina capek kalau abis pulang sekolah langsung rohis,”
“dari tadi
tapi tapian mulu nih. Di dunia ini ngak ada pekerjaan yang ngak capek, jangan
bilang tidur yang ngak capek! Coba deh pake keikhlasan kamu, pasti ngak capek.”
“udah kak,
tapi tetep capek, pegel dan kalau udah nyampe rumah ngak ada yang mijitin
hehehe...”
“itu namanya
belum ikhlas ade! Kakak mau tanya sama kamu,”
“tanya apa
kak, adikmu yang baik hati dan tidak sombong ini akan menjawabnya, insyaallah
kalau bisa ye.”
“ketika kamu
punya suatu tujuan anggaplah cita-cita, apa yang bakal kamu lakuin?”
“ya berusaha
mengejarnya lah, berusaha fokus pada satu hal itu.”
“nah, sama hal
nya dengan amanah yang sedang kamu emban sekarang ini.”
“maksudnya?
Aku ngak negrti,”
“tadi kamu
bilang kalu akan berfokus pada apa yang kamu mau, nah coba kamu fokusin kalau
kamu mau nunjukin kalau kamu masih respec sama rohis. Gini loh adikku sayang,
selama ini kamu kurang berfokus sama rohis, ada aja hal-hal yang kamu lakuin
yang akhirnya mengabaikan rohis itu sendiri. Rohis itu umpama cita-cita yang
harus kamu capai dengan berfokus pada rohis,”
“kan kakak tau
kalu aku kurang fokus,”
“itu bukan
alasan, jangan karena tidak bisa fokus pada satu bidang terus kamu mengeluh,
itu bukan anak Rohis namaya. Kakak yakin
ko, adik kakak yang baik hati dan tidak sombong ini bisa fokus pada rohis,
jangan kecewakan teman-teman kamu yang sudah memberi amanah ini sama kamu,
susah loh dapat kepercayaan dari orang maka dari itu jangan disia-siakan
apalagi dikecewakan.”
“iya ka, tapi
apa temen-temen mau memulai dari awal lagi?”
“jangan
pesimis gitu dong, anak rohis ngak boleh pesimis. Senyum ikhlasnya mana?”
“caranya
gimana kak?”
“coba kamu
bicarakan satu persatu atau coba kamu sms in dan tanyakan hal yang mereka tidak
suka dari kamu tapi kamunya jangan marah.”
“isnyaallah
aku coba kak, makasih ya kakak. Kalau ada masalah lagi aku pasti bakal cari
kakak, hehehe...”
“loh..kok..
hehehe...”
Satu
kegundahan hati sudah terobati, saat itu juga Dina menyirim pesan singkat
kepada teman-temannya mengenai hal yang tak disukai teman-temannya dalam diri
Dina. Jika dipatok sama rata maka hasilnya
mereka tidak suka dengan sikap acuh tak acuh Dina, terutama jika ada
agenda rohis yang mana dina tak hadir. Dina pun mengajak teman-temannya untuk
berdiskusi dirumahnya hari sabtu depan sehabis mentoring. Hal itu sangat
diperlukan terlebih ketika kepercayaan terhadap pemimpin itu rendah.
Kecerian
tampak dari wajah dina, kabut hitam yang menyelimuti wajahnya kini berganti
pelangi. Pelangi indah yang biasa datang ketika awan telah berhenti menangis.
Pagi ini
pelangi itu masih ada di raut wajah Dina, di mantapkan kakinya menuju sekolah,
ditebarnya senyum keikhlasan. Disapanya teman teman-teman dikelasnya. Hari yang
ceria disambut dengan jiwa yang ceria pula. Tak terasa bel pulang sekolah
berbunyi, dengan semangat empat lima, dimantapkan langkah kakinya menuju masjid
sekolah, hitung-hitung menunggu azan dzuhur dan kembali mengikuti kegiatan
rohis.
Selepas sholat
dzukur Dina menunggu di pojok masjid, maklum walau sholat berjamaah telah usai
tapi masih ada yang sholat. Bel masuk kelas siang telah berdering, anak-anak
rohis pagi berkumpul di teras depan, berbincang-bincang ataupun mencoba
menambah hafalan. Dina bergegas keluar masjid dan menyapa mereka tak lupa Dina pun mengajak mereka untuk
segera masuk. Kaget bukan kepalang, ketika melihat Dina masih berada di masjid
karena akhir-akhir ini setelah sholat dzukur, kalau tidak langsung pulang ya
kerja kelompok. Dina yang melihat ekspresi wajah teman-temannya yang tak biasa
itu langsung menenbar senyum. Awalnya
memang ada yang bersinis kata namun sinis kata itu berubah menjadi ucapan
syukur.
Di dalam
masjid, mereka membentuk lingkaran, tenang aja masih ada penyekat antara laki-laki
dan perempuannya kok. Dzul yang telah kembali dari ruang guru, wajahnya kurang
menyenangkan. Dina bertanya mengenai ekspresi Dzul itu dan ternyata ekspresi
itu gambaran kekekcawaan dzul karena sang murabbi tidak ada di tempat, beliau
sedang penataran.
“yaudah kalau
murabbi berhalangan hadir, kita jangan bubar, terus lanjut.” Ucap Dina
“bener tuh,
kan ini peluang untuk kita berbagi cerita ataupun kritikan.” Respon Ilmi dengan
penuh antusias.
“yasudah,
kalau begitu Dina saja yang buka dan mulai diskusinya, kan Dina punya wewenang
penuh disini,” saran Dzul
“tapi aku ngak
bisa, aku ngak biasa,” jawab Dina dengan pesimis.
“ayo kak,
kakak pasti bisa, jangan pesimis gitu dong, anak rohis anti pesimis,” celetuk
Gita
Dengan
menggela nafas, Dina membeuka agenda Rohis pekan ini, sungguh tak disangka,
antusias para anggota rohis terhadap rohis sungguh luar biasa. Banyak sekali
saran-saran membangun yang mereka kemukakan untuk kemajuan rohis, tak luput
juga keinginan mereka agar kedepannnya, ketua rohis bisa menjadi garda
terdepan, perisai terdepan untuk rohis. Diskusi itu sungguh seru, sulit untuk
diungkapkan tapi sungguh indah untuk dirasakan. Hari ini Dina benar-benar
menyadari bahwa akhir-akhir ini Dina bertindak salah. Salah meninggalkan suatu
keluarga yang bernama Rohis, keluarga yang bisa menjadi perisai untuknya,
keluarga yang memperkuat harapannya, keluarga yang penuh kecerian, dan keluarga
yang syarat akan makna.
#GARA GARA ROHIS Dina belajar untuk menjadi
pemimpin yang baik, #GARA GARA ROHIS dina memiliki keluarga kedua, #GARA GARA
ROHIS dina belajar bahwa ketika amanah itu kita pegang maka tak segampang
membalikan kedua tangan untuk melaksanakan amanah itu, amat sangat diperlukan
kekompakan, kerja sama, saling membatu, saling menasehati, dan saling mengasihi.
Jadilah seorang pemimpin yang memimpin bukan dengan kekuasaan tapi dengan
akhlak yang mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar